Tuesday, December 22, 2009

It’s Christmas Day

Saya tidak tahu apakah renungan berikut ini bisa jadi renungan Natal
atau tidak. Yang jelas, dimulai ketika saya mendengar sebuah lagu
‘It’s Christmas Day’ yang dinyanyikan oleh Mandisa dan Michael W
Smith. Saya terpesona mendengar lantunan merdu lagu itu.

Nah, saya tahu siapa Michael W Smith, tapi saya tidak tahu itu
Mandisa. Jadi saya meng-google nama itu dan menemukan keterangan
mengenai penyanyi itu di wikipedia,
http://en.wikipedia.org/wiki/Mandisa.

Ternyata dia adalah salah seorang finalis American Idol 2006,
hmmm….namun tiba-tiba ada sesuatu yang menarik perhatian saya. Di situ
diceritakan bahwa salah satu juri, Simon Cowell ternyata melecehkannya
karena penampilan fisiknya. Simon Cowell mengeluarkan beberapa
komentar tentang berat badannya sewaktu audisi. Waktu pertama kali
melihat Mandisa, Simon dengan sinis menyindir bahwa sekarang kita
memerlukan panggung yang lebih besar.

Saat Mandisa menemui para juri sesaat sebelum sesi final untuk 24
semi-finalis, dia berkata pada Simon, “Apa yang saya mau katakan
padamu, ya, bahwa engkau menyakiti saya, dan saya menangis saat itu,
dan benar-benar sakit, ya itu benar-benar menyakitkan. Tapi saya ingin
kamu tahu, kalau saya telah mengampuni kamu dan bahwa kamu tidak
memerlukan seseorang untuk minta maaf, untuk mengampuni orang lain.
Saya temukan, bahwa kalau Yesus rela mati supaya semua salahku dapat
diampuni, tentulah saya dapat memberikan kasih karunia ini juga kepada
engkau..”

Mandisa kemudian memenangkan beberapa Grammy dan Dove award dan
menelurkan beberapa album seperti It’s Christmas, Christmas Joy dan
True Beauty dan beberapa singles seperti God Speaking, Voice of a
Savior, dan lain lain.

Pagi ini saya bertemu dengan seorang kawan lama. Dia adalah seorang
mantan CEO salah satu perusahaan asuransi terbesar di Afrika Selatan,
yang kemudian di puncak karirnya memutuskan untuk datang ke Asia
Tenggara dan menjadi misionaris.

Sambil nongkrong di warung kopi, kami berbincang-bincang dan saling
berbagi pergumulan kami masing-masing. Saat saya berbicara tentang
‘kemalangan’ dan ‘ketidak-adilan’ yang baru saya alami di kantor, dia
tiba-tiba dengan semangat bercerita tentang satu kisah dari Afrika
Selatan.

Ketika pemerintahan apartheid di Afrika Selatan baru berakhir, Nelson
Mandela mengeluarkan suatu keputusan, bahwa siapapun yang dulu
melakukan kejahatan, asalkan mau mengaku di pengadilan maka akan
diputus-bebas oleh pengadilan. Nah, seperti yang Anda tahu, Afrika
Selatan adalah tanah berdarah, di mana banyak terjadi peperangan sipil
antara kulit hitam dan kulit putih. Kalau Mandela tidak mengeluarkan
keputusan itu, dapat dibayangkan berapa banyak orang yang harus masuk
penjara dan penjara akan penuh sampai 20-30 tahun ke depan.

Adalah seorang polisi bernama van de Broek mengaku bagaimana dia
menangkap seorang anak muda kulit hitam, memukuli dan menyiksanya,
sebelum kemudian dia membunuhnya. Kemudian karena mereka hendak
berpesta, mereka juga mem-‘barbeque’ anak itu. Delapan tahun kemudian
van de Broek kembali ke rumah anak itu dan menangkap bapaknya,
kemudian di depan istrinya, ibu si anak, Broek mengikat bapak tersebut
dan membakarnya hidup-hidup.

Desmond Tutu, pemenang Nobel perdamaian, mengepalai acara ‘hearing’
tersebut. Dia bertanya kepada wanita yang merupakan ibu si anak itu,
“Apa yang Anda mau dari dia?”

Ruang pengadilan itu menjadi senyap.

Wanita itu minta tiga hal. Yang pertama dia minta supaya van de Broek,
membawanya ke tempat di mana mereka dibakar dan mengumpulkan abu
mereka, supaya mereka bisa dikebumikan secara layak, dan dia ingin
Broek menghadiri acara pemakaman itu. Sang polisi itu mengangguk
setuju.

Lalu dia melanjutkan, “Tuan van de Broek telah mengambil keluarga saya
dari dia, padahal saya masih memiliki banyak kasih untuk dibagikan.
Sebulan dua kali, saya minta dia datang ke ghetto saya dan
menghabiskan sehari bersama saya, supaya saya bisa menjadi ibunya. Dan
saya ingin agar Tuan van de Broek tahu, kalau dia telah diampuni oleh
Tuhan dan bahwa saya telah mengampuni dia juga. Dan saya minta untuk
memeluk dia sekarang, agar dia tahu kalau pengampuan ini nyata….”

Spontan, orang-orang menyanyi lagu Amazing Grace di ruang pengadilan
itu, saat wanita tua itu melangkah ke depan. Tetapi Broek tidak dapat
mendengar lagu itu, dia jatuh pingsan dalam kekagetannya.

Allah juga melangkah ke dalam dunia ini waktu hari Natal. Untuk
memeluk dunia yang gelap dalam pengampunan. Dia datang sebagai bayi
kecil, agar dunia dapat melihat bahwa pengampunan itu nyata…

Monday, December 21, 2009

Feng Shui

I just had an interesting accidental discussion with some of my colleagues. They were discussing my "bad luck". And the cause is clear to them. It's the feng shui.

They told me, as we just moved to a new place, and my new seat is backing the glass window, that's is the symbol of hollowness and some more I am sitting with the light that comes through the window on my rear.

I smile politely, I don't want to argue. Maybe they mean well.

But as for me, I know that it is in God's hand my destiny is. I know that for me personally the drought has attacked, and the land I stand is dry. But I will put my seeds of potato into the soil, what may dry it seem.

This year is gonna be my harvest year filled with God's blessings!

The Christmas I Want

Sepanjang jalan Orchard di Singapura sudah dihiasi lagi dengan megah dan
gemerlap menyambut hari Natal ini. Orang-orang lalu lalang dengan gembira, di
tengah banyak bangunan mall-mall yang baru dan mewah.

Singapura bukan negara Kristen tentunya, dan orang Kristen tentu cuma minoritas.
Tetapi musim Natal disambut dengan gembira oleh banyak orang. Pertama-tama
karena musim liburan. Pada umumnya beban kerja di kantor menurun, holiday-mood,
lah. Orang banyak mengambil cuti, kesibukan menurun, dan siapa tidak suka
melihat hiasan-hiasan Natal yang gemerlap, Sinterklas yang lucu dan pohon Natal
yang indah. Natal, juga mendekati akhir tahun, dan kebanyakan karyawan
menantikan bonus akhir tahun mereka. Dan tentu saja, selalu ada hal yang menarik
hati yang disediakan untuk kita semua. Diskon Natal untuk Christmas fashion
terbaru, menu khusus hari Natal yang menggoda lidah, dan berbagai sale dan
diskon bertebaran.

Jadi siapa yang tidak suka hari Natal?

Benar, memang bagi banyak orang yang berbeban berat, suasana di atas tidak
banyak menolong. Karyawan yang baru dipecat, sulit untuk menghamburkan uang
untuk Christmas shopping. Orang-orang yang sakit, sulit melihat harapan di
tengah mall-mall mewah bertaburan luxury goods.

Namun suasana Natal yang gemerlap itu tentu nyaman untuk sekedar `take a break'
setelah sepanjang tahun penat membanting tulang, bagi banyak orang.

Tapi, kan, Anda mungkin menyanggah, Natal bukan soal itu, ada pesan Natal yang
sesungguhnya karena kedatangan seorang bayi di palungan 2000 tahun yang lalu…

Saya bertanya-tanya, kalau misalnya Anda sedang terjerat dan terjepit dalam
masalah yang sangat berat, lalu mendengar pesan Natal, yang itu-itu lagi, yang
sudah Anda dengar mungkin puluhan kali, akankah pesan Natal itu membawa arti
bagi Saudara?

Kita tahu, sepertinya tidak ada yang mengena di hati kita (lagi), tinggallah
Natal itu soal gemerlap hiasan lampu Natal dan Sinterklas yang lucu…

Teringatlah saya, kejadian 2000 tahun yang lalu itu, adakah hari itu benar-benar
membawa arti dan mengubah hidup banyak orang?

Ya, bagi para gembala, mereka bersuka cita dan membawa berita kesukaan besar
kepada banyak orang. Cerita tentang gembala bertemu bala tentara malaikat tentu
cepat menyebar di kota kecil itu. Tapi, tidak banyak orang "menerima" berita
itu, Alkitab cuma mencatat mereka heran. Titik. Lagipula, kalau semua orang
sekota itu dan daerah itu bertobat, 30 tahun kemudian tentu pelayanan Tuhan
Yesus akan lebih mudah.

Ya, bagi Simeon dan Hana, yang membawa berita sukacita itu di Bait Allah, saat
Yesus berumur 8 hari. Kedua orang ini tentu tidak berbicara bahasa sandi saat
itu, kesaksian mereka nyata, dan Hana adalah seorang nabi yang tinggal di dalam
Bait Allah itu sendiri. Jadi mengapa cuma dua orang di dalam Bait Allah itu yang
melihat `makna' itu dan tidak para ahli Farisi, imam-imam, ahli Taurat, dan
segala macam orang yang datang ke Bait Allah? Kalau mereka menerima Yesus pada
saat itu, tentunya mereka tidak akan mati-matian menentang Yesus, 33 tahun
kemudian…

Ya, bagi orang Majus yang mengarungi jarak yang jauh dan mempersembahkan
barang-barang mereka yang paling berharga. Tetapi tidak bagi penduduk sekitar,
yang bisa dengan mudah datang dengan berjalan kaki.

Mengapa?

Kita tahu bahwa Allah mengasihi kita, kita tahu bahwa Bayi yang datang 2000
tahun yang lalu itu adalah suatu perkara yang besar. Tetapi kenapa berita itu
sekarang tidak lagi mengena di hati kita?

Karena walau kita tahu bahwa Allah mengasihi kita, kita punya kemauan dan
keinginan akan `apa yang kita mau' dari perwujudan kasih itu. Dan apa yang kita
mau, mungkin berbeda dengan bagaimana Allah menyatakan kasihNya...

Orang-orang Yahudi menantikan datangnya Mesias selama beratus-ratus tahun, dan
dalam penindasan dan penghinaan yang berat oleh orang Romawi, tidakkah yang
mereka nantikan seorang Mesias yang perkasa, yang datang dengan Pedang dan Api
yang menyala-nyala, dan memulihkan Kerajaan Israel pada masa itu?

Bagi para orang Farisi dan ahli Taurat, tidakkah mereka berharap, bahwa Mesias
itu akan datang sebagai Imam yang megah, dalam kelebatan efod sorgawi,
diselubungi awan kemuliaan yang menggentarkan semua orang, yang kemudian akan
kemudian mengangkat para imam dan orang Farisi itu sebagai orang-orang penting
untuk menghakimi umat Allah?

Tetapi Bayi itu datang dalam keadaan sederhana, lahir di palungan. Dia menaiki
keledai saat memasuki Kota Raja, Yerusalem. Dia mengajar dan mengecam
kemunafikan para ahli Taurat dan mengajak umat Allah datang langsung kepada Bapa
mereka, dan dengan demikian membuat posisi para imam "terancam". Dia duduk
dengan anak-anak. Dia bercakap-cakap dalam bahasa Aram (ibaratnya Jowo ngoko)
dan bukan bahasa terpelajar Yunani (ibaratnya bahasa Inggris). Dan…ya ampun…dia
bergaul dengan pelacur, dia makan semeja dengan para koruptor…

Jam menunjukkan lewat tengah malam. Hening dan sepi. Lagu Natal melantun sayup
memecah keheningan. Puluhan Natal berlalu sudah.

Saya berdoa, supaya Natal ini, saya dapat melihat kasih Allah sebagaimana kasih
itu yang sejati. Seperti yang hati Allah pesankan. Bukan seperti apa yang saya
mau. Supaya saya tidak kehilangan pesan Natal itu seperti orang-orang Israel
menantikan Mesias dengan pedang, atau seperti para ahli Taurat yang kecewa
melihat kesederhanaan Kristus.

Saya ingin saya dapat melihat dan merasakan kasih itu, bagaimanapun Allah
menyatakan dan mewujudkannya dalam hidup saya.

Mungkin tak seperti yang saya mau. Mungkin tak seperti yang saya harapkan.
Mungkin tak seperti impian liar masa muda saya. Mungkin tak seperti yang akal
praktis saya paksakan. Mungkin tidak seperti yang saya pernah bahkan dapat
bayangkan.

Saya berdoa, agar saya dapat percaya. Dan melihat. Dan mengecap. Kasih Natal itu
yang sejati.

Saturday, December 19, 2009

The seeds of potato

I was on my way to work in the train
Still dangling in my mind what I wrote in the blog the night before
As I sat, .. suddenly..
.. yes just suddenly...

I put my seeds of potato into the dry land
And I had a moment of strange warm feeling
Short...a glimpse...but enough to bring the joy and faith

I know nothing changes
I do not need to leap into the dark
But I have changed my mind like Jacob

And one day this shall serve as a testimony
that God has always prepared something better in advance

I feel peace....



Friday, December 18, 2009

..so it comes

so it comes...
you know it, that it's coming
you have been preparing and telling yourself everyday
still you feel a bit tingling

so it comes...
you know that the El Nino is coming
and the drought is felt

I just have to put my seeds of potatoes
against the nature against all hopes

...can I?

when I feel the heat?
when I am burn?
when I see no water?

Sunday, November 29, 2009

Faith Like Potatoes

Malam itu saya iseng jalan ke DVD rental shop langganan kami. Tadinya saya ingin pinjem Transformer, tapi ngga ada. Lalu melihat ada Harry Potters, tapi istri saya ngga setuju. Lihat-lihat lagi...tiba-tiba saya melihat ada satu DVD dengan judul yang aneh 'Faith like Potatoes'. Hmm..kelihatannya seperti agak boring, tapi ngga apalah, saya pikir.

Film itu ternyata tidak boring sama sekali, bahkan mengubahkan hidup saya. Film yang diangkat dari kisah nyata, ini berkisah tentang perjalanan Angus Buchan (http://www.shalomtrust.co.za/), seorang petani dari Afrika Selatan.

Luar biasa...

Saya bisa menulis panjang dan panjang, dari film tersebut. Tetapi untuk kali ini, biarlah sedikit saja dulu, yang saya mau tulis.


Seorang petani yang pemarah. Yang merasa beban seluruh dunia sedang ditanggungnya. Baru saja dia dipaksa keluar dari tanah pertanian-nya di Zambia karena perang, dan dengan berbekal sedikit uang, dia mencari kehidupan di Kwa Zulu, Afrika Selatan. Tak ada rumah, hanya karavan butut. Tak ada listrik dan air. Traktor yang dimilikinya dirusak oleh pegawainya. Tiap minggu, ada saja berita di mana petani kulit putih terbunuh. Istrinya sedang hamil 6 bulan, dan 3 anak lainnya masih kecil-kecil.

Jadi bagaimana?

Siang itu, setelah pertengkaran yang panjang soal dasi dengan istrinya, akhirnya dia mau juga duduk di gereja. Dan hari itu menjadi sejarah titik balik dalam hidupnya, ketika ia menyerahkan hidupnya kepada Kristus.

Siang itu juga, damai sejahtera Allah mengubah hidupnya.

Siang itu juga, dia mulai mengabarkan injil kepada orang-orang yang ditemuinya, kepada para pegawai-pegawainya.

Hidup tidak menjadi langsung mudah setelah hari konversi itu. Ladangnya terbakar, dan Angus tahu kalau api sampai melalap ke ladang sebelahnya, dia bisa diseret ke pengadilan. Di tengah keputusasaan-nya, dia mengajak mandornya, Simeon Bhengu untuk berdoa meminta hujan. Simeon cuma berkata dengan bingung bahwa sekarang bukan musim hujan. Jadilah Angus berdoa sendiri.

Satu jam kemudian.

Hujan lebat itu turun dan api itu padam.

Iman Angus pun tumbuh dari hari ke hari. Ladang jagungnya menjadi gereja hijau-nya, tempat dia bercakap-cakap dengan Allah...




Monday, October 19, 2009

Melukis Kasih Karunia

Saya belajar melukis. Ya, ngga tahu apakah terlalu telat untuk orang seusia saya? Waktu kecil saya suka menggambar dan mencorat-coret. Entah berapa kali saya dimarahi papa karena menggambari dinding rumah, dan karena lama tidak dicat ulang, corat-coret itu terdampar di sana untuk waktu yang cukup lama. Waktu tambah besar, saya mengerti kalau menggambar itu harus di atas kertas, dan mama saya suka memuji kalau gambar saya bagus.

Saya berhenti melukis waktu kelas 2 SMA kalau tidak salah. Yang saya ingat, guru seni rupa saya mengacung-acungkan lukisan saya di depan kelas dan mengejek-ejeknya serta mempermalukan saya di depan murid-murid.

Sejak itu saya selalu berpikir kalau saya tidak bisa melukis. Saya tidak punya bakat.

Dan waktu pun berlalu.

Sebulan yang lalu saya iseng menemukan kursus melukis di sebuah website. Benar-benar kebetulan, karena saya menemukan link-nya di Google Ads Word di dalam Gmail. Lebih kebetulan lagi, tidak lama setelah itu saya ketemu makan siang dengan kawan saya, seorang Professor di Singapore Management University, setelah lama sekali tak bersua. Ngobrol-ngobrol kanan kiri atas bawah, saya tiba-tiba iseng menyebutkan soal kursus melukis. Singkat cerita dia juga tertarik, dan jadilah kita berdua mendaftar untuk ikut kelas permulaan. It’s acrylic on canvas. Kalau tidak ada temannya, mungkin saya tidak berani mendaftar.

Nah, tulisan ini bukan artikel tentang teknik melukis, ya. Saya cuma tertarik dan terperanjat ketika instruktur kami (seorang seniman impressionist) mengatakan, “Melukis itu tergantung dari bagaimana kamu melihat dan bukan dari keahlian tangan…yang penting itu harus melihat dengan benar, karena kalau kamu melihat dengan benar, niscaya tangan akan mengikuti…”

Saya jadi melihat analoginya dalam hidup. Kalau kita melihat dengan benar, maka tangan kita akan melukis dengan baik pula. Kalau apa yang kita percayai benar, maka hidup kita akan benar pula. If we’re believing right, then we will live right.

Kalau saja kita tahu, melihat dan mengecap betapa dahsyat dan tak berkesudahan dan tanpa pamrih, kasih karunia Tuhan, hidup kita akan diliputi dengan kekuatan ajaib untuk hidup benar. Mana yang akan membuat kita hidup benar? Apakah aturan-aturan agamawi dan hukum-hukum serta ketakutan akan api neraka? Ataukah kelimpahan kasih karunia, pengampunan tak berkesudahan, kebaikan tanpa pamrih yang akan mendorong kita hidup benar?

Penghakiman dan hukum penuh dengan tuduhan dan daftar kesalahan. Seperti guru seni rupa saya di atas, ketika dia mengacung-acungkan “keburukan” lukisan saya. Demikian juga, dalam hidup, selalu ada oknum yang tak hentinya menuduh kita, mendakwa kita, mencap kita “tidak layak” dan mengacung-acungkannya di depan pikiran kita.
Tapi, lihatlah.

Therefore, there is now no condemnation for those who are in Christ Jesus, kata surat Roma 8:1. Ngga ada lagi penghukuman, kita udah bebas. Kita hidup dalam kasih karunia. Kita hidup karena kita melihat dan mengalami dan hidup di dalam Roh dan berbuah. Ngga ada hukum yang bisa menentang itu, kata Galatia 5: 23.

Kalau kamu melihat dengan benar, tanganmu akan mengikuti…..

Kalau kita dapat melihat dan merasakan dan mengalami betapa besar kasih karunia Allah, maka kaki dan tangan kita akan mengikuti….

*****
Singapura, Oktober 2009
Dedicated to my dearest wife, RP.
Thanks too to GT (SMU) & CK (myartspace).

Monday, September 21, 2009

God, Prosperity and Reality

I had an interesting encounter recently, that more or less giving me some answer to a neverending question I have, in regard to mega church, prosperity theology and reality.

I attend a few mega churches and as commonly they are, they encourage the building of wealth as God's will. If you ask me, I think they are men of God (at least those that I attend or know), they are God's chosen servant notwithstanding the fact that it does not mean that ALL their teaching is correct. Neither does it mean, that all they say, behave, or their church policy is all accurate. I think they all are possible making mistake both in their teaching and thought.

Sounds like contradicting? Well, I think we all now see the blur reflection on the mirror, till the day we'll see God face to face. That day, we'll understand him fully, not as now.

Now, coming back to this prosperity problem, I always have problems. Some are just logical dilemmas. For example:
  • If you teach that God wants the best property for us, i.e finding house for us. Mind you, the preacher spesifically said, the best in town for us. This lead to a mathematical problem, because the best is only one, and there are more than one Christian in town
  • Mathematically, you can't have all members to be rich persons. And economically, some professions can't compete with others. For example, being a teacher or a maid, would make it incomparable to compete with a Wall Street analyst or bankers. So, how would a member who coincidentally is a taxi driver feel about the teaching?
  • Case studies in pulpit are always about the 'absolute' rich people. The preacher would proudly announce how he knows this and that rich Indonesian businessmen, of the replica house like White house, etc. I understand marketing and packaging. The moment you share a story about a maid. that she feels so financially blessed, because today she could earn additional $10, would just really piss off most the attendees.
  • Biblically, they love to quote all examples of rich people and forgetting the case that Jesus himself, Paul, etc were not typical Warren Buffet of the day.
  • Just take a quick surveys..most of the richest in town or country, they are not Christian. Forbes would agree with me.
I had a long day and in the middle of tense anxiety. Very tense. And very worried. That night I took a cab. I chatted with the taxi driver, whose name and race is not really typical in Singapore. 80% of my experience listening to taxi driver is that they always complain and bicker about their job and the hard life they go through. So now I started with this topic.

He shared with me, that he drives cab after being retrenched from his company after the Asian Financial Crisis. He shared how his skill is useless, because he doesn't have paper. I shared with him too, that's life in Singapore is tough, bla bla bla..that I might think to go back to my homeland, bla bla bla, at least I could start a business, bla bla. He agreed with me, that starting a business in Singapore is tough.

So suddenly I saw that piece of cross made of paper hanging in front. Casually I asked if he goes to church. He replied yes, and yeah...he goes to one of the biggest mega church in town, which I attend too. So, we chatted more openly.

So he started to share, how intially he was reluctant to drive after being retrenched, till he surrendered to God, and how God has miraculously been taking care of him. He doesn't drive every Sunday, that is a loss of $480 of taxi rental, yet he is still able to give tithing in between $400-450 per month. One day his son decided that he wanted to go to university, he did not have any money, he trusted God. Thereafter the problem was solved, as his son got a loan from the bank. He shared with me the little things God help him daily, like the fact that he got me as passenger, as it is the same way he was going home.

He was full of energy of excitement when he shared this. "Just rest...don't need to do anything to be blessed by God.." shared he enthusiastically. "God will provide..." Of course, what he meant not just sleeping at home. "And for you, if you want to be here, you don't worry, 'cause God will provide..."

I asked a rethorical question if he felt bitter because he drives taxi now, as oppose he used to work in office. The answer is clear of course...he sees this as his life calling....

The taxi reached my place. He smiled at me, when I paid. Inside the dark cab, I had a strange sight, perhaps just my eyes. I saw as if his face was celestially glowing in the dark.

I kept on thinking about it that night and talked about it with my wife. I never hear in those mega churches, how they would be proud of God's way to bless the realtively-not-rich people financially. It is awkward if they share in their spectacular pulpit, stories about taxi driver or maid or teacher in the context of prosperity theology. Because their concept about prosperity and/or financial is absolute. A dollar is significantly different with a million dollars. Or even they do not really think it is absolute, they cannot share the story of the little ones.

I somehow see from different perspective from now on. I see how God's invisible hand work miraculously in interpreting the pulpit's message to all His little lambs. God has His way, he knows what's happening and know what to do. The little ones, by God's grace, will see the light himself, and find the ways as God opens them.

I believe wholeheartedly that God blesses us in every way as He pleases. That includes money. But the metrics for that does not follow man's principle. God knows what is best for us. It might be a CEO post in Lehman or any Wall Street, it might be a five digits salary in USD, it could be that he blesses us while we drive taxi, yet He will make us lifted.

I know, were I be the one became taxi driver, I would feel bitter to God and would see it as a failure. And maybe the mega church pulpit would think the same too. But really, God cannot be packaged into our own formula.

I would think that God was a failure when Jacob had to migrate to Egypt to escape the famine. I mean...He is Almighty...and if I were the prosperity teacher then, I would teach that, in Jacob's land, there should be miracle, that their crops will yield harvest, even though the lands next to them were all destroyed. But He is not. The Bible said, that that was God's way. He prepared Joseph long way back to prepare this sophisticated salvage mission. I might think otherwise, that God should just make some miracle and open the heaven's gate, what is so difficult?

But that's not His way. And Jacob, old age, before Pharaoh said, "The years of my sojourning are 130—a short and hard life and not nearly as long as my ancestors were given."

Jacob, the man who cheated his brother in the chase of prosperity finally found the real prosperity.

Sunday, September 13, 2009

always be nice

i have learned some lessons throughout the recent titanic episode. it's quite sad perhaps, that i think the lesson is a basic one.

always be nice to everyone.
you never know, who will stretch their hands to reach you when the titanic starts to sink. one touched my hand and told me 'relax, God is watching us' despite i had numerous fights with the person. the other one said 'don't let them look down on you, you have to know that you are good..' despite i ever had hours on the phone quarelling. one just came into my room said nothing..but 'how are you' with the face expressing deep sympathy. one sent sms-es from outside, despite we were not that close when we were on the same ship, 'things happen for a reason, keep faith in god'. the funny thing, i don't even know what religion those people are who mentioned god, yet it was just so nice.

use brain and be rationale all the time (this one i got it from my seefoo).
the persons that i have tried to be over-nice, were the ones that then put the darts on my back. the fact that i was hurt, because perhaps i was not sincere then, i was nice to them to get their support during my reign time. lesson, don't need to overdo it...

so, in future, just be nice to everyone in sincerity.

Saturday, August 29, 2009

There's a reason

There's a reason for the life given by the Son now there's a second chance for me
Oh lamb of God I am standing in the light
Pray all the world will see
May all I do glorify your name
That's the reason you made me...

There's a reason for everything
Some we may know, most we don't know
Some we don't need to know, some we really need to know
..to hold and uphold it...

Tuesday, August 25, 2009

...he also needs to....

in the middle of situation on which i felt nervous, i got this word of encouragement.

"...he is only a man, and like you and me...he also needs to shit and goes to the toilet...."

aha...so wise my godfather is :)

Wednesday, July 29, 2009

Every Single Step



" a Mont Blanc is conqured not by 'going to the top' but by setting up the next base, every single step" (Jean-Paul Sablerolle, 2009)

Thursday, July 23, 2009

a happy family


guess the picture says it all...

Thursday, May 28, 2009

waktu

"....kecepatan waktu melebihi kilat, namun lambatnya mengalahkan kelambatan seekor keong ,,," (Siang Bok Khiam Episode 21, Kho Ping Hoo)

Monday, May 25, 2009

Everybody is normal

Everybody is normal until you get to know them, said Ferry Irawan Tantono. I suddenly remember what he said as I was looking at the rushing people walking on the street.

Duka Ketidakpastian

Saya baru saja membaca sebuah artikel yang ditulis Daniel Gilbert, seorang Profesor Psikologi dari Harvard University, judulnya “The unbearable angst of uncertainty” Di situ dia menulis tentang sebuah eksperimen yang dilakukan peneliti dari Maastricht University di Belanda yang melakukan penelitian pada sekelompok orang dengan memberikan 20 kejutan listrik. Kepada satu kelompok, para peneliti memberitahukan bahwa akan ada 17 kejutan ringan dan 3 kejutan berat, sedangkan kelompok yang lain hanya tahu bahwa mereka akan menerima semua kejutan berat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok yang justru tahu bahwa mereka cuma menerima 3 kejutan berat, ternyata lebih takut dan kuatir. Jantung mereka berdetak cepat dan mereka berkeringat dingin.

 

Ini karena orang cenderung lebih stress kala mereka mengetahui kalau sesuatu yang buruk mungkin terjadi, daripada mengetahui sesuatu yang buruk akan terjadi. Kebanyakan orang ternyata, kalau mereka tahu sesuatu yang buruk akan terjadi, walau pada awalnya mereka akan terpukul, setelah beberapa saat mereka akan mulai menerima kenyataan dan bersiap untuk memperoleh yang terbaik dari keadaan yang terburuk.

 

Ketidakpastian itu adalah beban yang menusuk. Saya jadi ingat satu cerita lagi. Tentang seorang kriminal di Amerika yang divonis hukuman mati. Setelah mencoba pelbagai usaha untuk naik banding, vonisnya tidak berubah. Akan tetapi pada hari H-nya, hukumannya ditunda. Penundaan ini bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali. Entah mengapa, mungkin karena ada kesalahan administrasi. Akhirnya pada hari yang dinanti-nantikan, setelah dengan pasrah, si pesakitan siap menerima nasib...eh....ternyata dibatalkan lagi! Akhirnya saking kesalnya dia malah balik menuntut pemerintah AS, karena dianggap lalai dan menunda-nunda hukuman matinya.

 

Salah satu duri ketidakpastian adalah karena kita tidak tahu apa yang mesti kita lakukan. Saya ingat, ketika saya memulai bisnis saya. Ternyata tidak berhasil baik. Saya sempat stress. Bukan semata karena usaha saya yang tidak berhasil, tapi karena saya tergantung dalam dilema, dan terjebak dalam lubang kebingungan. Mestikah saya terus bertahan dan menghabiskan uang tabungan saya? Mestikah saya berhenti saja dan kembali jadi karyawan? Kedua-dua langkah mengandung resiko. Jadi berbulan-bulan saya stress karena ketidakpastian, tidak pasti saya akan ke mana, atau apa yang akan terjadi pada saya.

 

Ketidakpastian, tentu adalah tema sehar-hari sekarang. Dengan krisis ekonomi global ini, tidak jelas apa yang akan terjadi pada pasar saham besok. Mendengar berita PHK di negara-negara paling makmur sekalipun, tidak pasti berapa lama kita bisa duduk di bangku kantor. Mendengar berita flu ini-flu itu, tidak jelas kapan epideminya akan meledak, atau entah virus baru apa lagi besok datang.

 

Ketidakpastian sekarang bukan hanya melanda orang miskin, tetapi juga orang kaya. Bukan hanya orang tidak berpendidikan, tetapi juga orang-orang pintar. Orang lemah atau berkuasa.

 

Yesus mengerti. Dunia tidak dapat menyelesaikan persoalan ketidakpastian ini. Selama kita menaruh harap dan rasa aman kita pada sistem dunia, kita tidak akan pernah merasa damai. Itulah sebabnya Dia bersabda, “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu.”

 

Mungkin tidak ada jawaban instan akan masalah ketidakpastian kita, begitu kita selesai mengucapkan ‘Amin’ dalam doa kita. Namun satu hal pasti, Tuhan bilang, Dia akan berikan kita damai sejahtera yang bukan dari dunia ini. Yang tidak dimengerti dunia ini. Yang ‘kan berikan kekuatan kepada kita untuk terus melangkah.

 

Kembali pada kisah di atas tentang pengalaman saya. Ya, Tuhan menolong saya. Dan bulan-bulan yang saya habiskan dalam kekuatiran dan stress, sebetulnya sia-sia saja.

Saturday, May 09, 2009

Kampung Kenangan Mei

"Tuhan menciptakan manusia itu dalam kerapuhannya sehingga dapat dilukai, dan bangsa kita telah lama hidup dengan sekujur luka. Namun Tuhan juga menganugerahkan kekuatan untuk kita mengampuni, seperti jarum emas dengan benang bajanya menjahit teguh segala luka kebencian, amarah dan kesalahpahaman. Biarlah kenangan ini kan diingat tidak lagi dalam luka, namun dalam cinta dan pengampunan abadi."

Sunday, March 08, 2009

Buluh Yang Terkulai

Semilir angin laut pantai utara Jawa menghembus mukaku. Sedikit menghibur dan menghalau rasa galau di hati. Aku menghela nafas. Kesal? Menyesal? Entahlah aku sendiri tak tahu apa yang aku risaukan.

Sudah beberapa minggu ini aku tinggal di komplek asrama sekolah pelayaran ini. Selepas wisuda sebagai lulusan terbaik dari Universitas di kota ini juga, aku tidak menduga, kalau aku harus memperpanjang masa tinggalku di kota ini. Kota yang gersang, panas. Lain dengan kampung halamanku yang dingin dan sejuk. Kota yang sudah kudiami selama empat tahun terakhir sampai lulus kuliah, tapi tetap rasanya tidak dapat membuatku betah. Ah, aku mengeluh. Kalau saja, beasiswa master-ku diterima di Eindhoven, Belanda. Mungkin pagi ini aku terbangun dengan bunga-bunga tulip menyapa di jendelaku. Atau kalau lamaran beasiswa Monbusho-ku diterima pemerintah Jepang, aku sudah berjalan-jalan di tengah-tengah padang bunga sakura.

Tapi, ya sudahlah. Dalam kebingungan dan kekecewaanku, satu-satunya tawaran yang ada adalah untuk membantu mengajar “Rangkaian Listrik” dan “Elektronika” di sekolah pelayaran ini. Dan di sinilah aku sekarang.

Hari-hari pertama agak sulit, aku mesti menyesuaikan diri dengan suasana dan ‘budaya’ sekolah itu yang belum pernah aku alami. Aku menyadari tentu cara dosen-dosenku mengajar dulu, tidak bisa diterapkan di sini. Tapi menarik juga, banyak dari mereka datang dari pelosok-pelosok jauh. Datang dengan cita-cita dan tekad. Banyak dari mereka datang dengan latar belakang kehidupan keras dan tidak mudah. Aku berusaha juga untuk mengenal dan dekat dengan mereka, dalam beberapa minggu ini.

****
Malam itu aku terbangun oleh suara huru-hara. Berisik sekali di komplek asrama ini oleh suara riuh rendah dan teriakan orang-orang. Aku keluar dari kamar pengap-ku, cuma mengenakan sarung dan kaos oblong, mencoba mencari tahu apa yang terjadi.

Kilatan sinar senter berkelebatan di mana-mana.

Aku melihat Jati, salah seorang muridku datang tergopoh-gopoh dengan muka pucat.
“Pak, pak...ada yang mati....”

Sekejap saraf-sarafku terjaga dan aku pulih total dari rasa ngantuk-ku.
“Kenapa? Sopo?”

“Jason...dibunuh, Pak....” Mengucapkan kata itu, suara Jati terdengar gemetar. Dan pemuda yang tinggi kekar hitam itu jadi kelihatan seperti anak kucing ketakutan.

Aku tidak menyahut, tapi buru-buru berlari ke pusat kerumunan.

Tuhan. Aduh! Aduh....!

Aku tidak tahu mesti merasa apa. Di situ aku melihat Jason, salah satu muridku sudah tergeletak, bergelimang dengan darah. Aku belum pernah melihat darah tercecer sebanyak itu.

“Ayo – ayo semua minggir! Ambulan sudah dipanggil, semua minggir!” Aku melihat Pak Lasno, salah satu dosen senior, berteriak-teriak berusaha membubarkan kerumunan.

Aku menepi sesaat. Rasanya tidak percaya, beberap hari pertamaku sudah disambut dengan kejadian seperti ini.

Sekelompok murid-muridku mendekatiku. Tidak jelas lagi siapa mereka, tapi satu-satu berusaha menjelaskan apa yang terjadi.

“Dia dibunuh Lontar, Pak...”
“Awalnya Jason menghina dan mempermainkan dia, Pak....”

Setelah beberapa saat, kurang lebih aku tahu duduk ceritanya. Lontar anak dusun dari kepulauan timur, anak miskin yang sederhana. Tidak jelas bagaimana awal mulanya, yang jelas Jason –anak dari Jakarta dan anak pejabat juga- bertengkar dengan Lontar. Lalu mengancam Lontar dengan pisaunya, mungkin memperolok-oloknya. Dan akhirnya...Jason yang terkapar dengan pisaunya sendiri tertancap di perutnya.

Ya, aku ingat Jason, anak yang suka bicara, dan besar mulut, sementara Lontar aku ingat satu anak pendiam, lusuh dan kelihatan bodoh dan kampungan.

“Mas Henry, ayo mas ikut bantu sini...” Sekonyong-konyong Bu Tuti, salah satu dosen senior memanggilku.

Ternyata Lontar naik ke tingkat atas salah satu bangunan, berdiri di jendela, bersiap-siap hendak meloncat dan mengakhiri hidupnya. Kami bergegas lari, terengah-engah mendaki tangga. Ruangan di mana dia berada terkunci rapat. Ramai kami berusaha menggedor pintunya. Aku melihat wajah-wajah bingung para dosen yang lain. Keriput muka Pak Lasno dan Bu Tuti, seolah mengatakan mereka tidak sanggup mendobrak pintu itu. Mereka menatapku, mungkin karena aku yang paling muda, dan diharapkan untuk melakukannya.

Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Entah mengapa tiba-tiba aku melihat sekelebat bayangan, gambar sebuah laci besar yang kosong. Kosong dan hampa.

“Lontar!” Aku berteriak dan memukul pintu sekuat tenagaku. “Dengarkan..!”

Dan aku pun berkata-kata seperti orang gila....

“Hidupmu seperti kosong dan hampa...tapi belum berakhir....dengarkan baik-baik. Tuhan Yesus sanggup beri kau kekuatan, biarkan Dia masuk di hatimu. Jangan putus asa....Dia kan isi hidupmu lagi...Dia kan penuhi hidupmu......baru lagi....”

Hening.

Aku berusaha tidak memandang wajah para dosen yang lain, yang memandangku dengan kebingungan.

Hening. Menit-menit merangkak seperti berabad-abad.

Tiba-tiba terdengar bunyi gerendel dibuka. Aku melihat wajah Lontar bersimbah air mata. Tubuhnya bersimbah darah. Hanya aku melihat damai di matanya.

Dia berjalan pelan, lalu berlari arahku, berlutut dan memeluk kakiku. Terisak-isak, meleleh air matanya.

******
Jujur saja, malam itu aku sungguh-sungguh berdoa, agar Tuhan memberikan mukjizat untuk membangkitkan Jason. Aku berdoa, berteriak-teriak, sisa malam itu, agar mukjzat itu dikabulkan.

Tapi itu tidak terjadi.

Jason dikebumikan sekitar seminggu setelah itu. Lontar diajukan ke pengadilan. Aku tidak mengikuti lagi, cuma aku mendengar cerita bagaimana dia dipukuli sampai hampir mati oleh oknum-oknum, bagaimana suasana pengadilan cukup mengharukan, bagaimana dia berlutut memohon ampun kepada orang tua Jason.

Hidup membawaku ke belokan lain, ternyata. Aku tiba-tiba mendapat tawaran beasiswa untuk melanjutkan studiku di National University of Singapore. Belasan tahun lewat, dan aku sudah melupakan peristiwa itu. Ketika tiba-tiba aku mendengar kabar, seorang penginjil muda yang perkasa di daerah Soe, di kepulauan timur. Namanya Lontar.

Aku merenung. Secara jasmani, saat dia menerima Tuhan Yesus malam itu, tidak ada mukjizat. Kalau saja Jason tidak jadi mati, tentu hukumannya tidak berat, malah mungkin bisa saja tidak ke pengadilan. Tapi, Jason tetap meninggal, dan Lontar menghabiskan bertahun-tahun di pengadilan dengan segala siksaannya. Tapi saat itu, entah bagaimana Yesus sanggup memberikan dia ‘hidup’, walaupun dari luar kelihatannya seperti tidak ada yang berubah. Dia tetap dihukum. Sama seperti Daud yang merasa lega setelah memohon ampun setelah membunuh Uria, walau toh dia tetap dihukum. Anak pertamanya tetap mati, dan kelak Absalom memberontak.


Aku juga tidak mengerti bagaimana serentetan kalimatku yang kacau balau di depan pintu, malam berdarah itu – bisa dimengerti oleh Lontar.

Yesus, sepertinya penuh misteri. Atau lebih baik aku katakan, aku tidak sanggup menyelami Dia. Buluh yang terkulai tidak Dia patahkan.

*****

Wednesday, January 28, 2009

life to the fullest

time flies, swift.
I have now looked through the window at the height of corporate ladder.
A seat, I know, I am always ready to lose anytime, within 24 hours.
A place, I know, will never make me secure.


Somehow, I remember people I have met in the past.
I still sense their passion over what they are doing
It seems they live a hakunamatata kinda life
They live their dream
They did not go into main stream like the crowd. Taking 'profitable' degree, such as business, engineering, and making career and money, as the focus of their energy. No.

Some devote their life for social and political studies. Some become professor. Some devote their life for humanity and human rights cause. Some become (probably) the next ruler's advisor.

I feel they all live a meaningful life. Life to the fullest. They are doing what they love, free from what the crowds chase. They choose life over money and social status.