Semilir angin laut pantai utara Jawa menghembus mukaku. Sedikit menghibur dan menghalau rasa galau di hati. Aku menghela nafas. Kesal? Menyesal? Entahlah aku sendiri tak tahu apa yang aku risaukan.
Sudah beberapa minggu ini aku tinggal di komplek asrama sekolah pelayaran ini. Selepas wisuda sebagai lulusan terbaik dari Universitas di kota ini juga, aku tidak menduga, kalau aku harus memperpanjang masa tinggalku di kota ini. Kota yang gersang, panas. Lain dengan kampung halamanku yang dingin dan sejuk. Kota yang sudah kudiami selama empat tahun terakhir sampai lulus kuliah, tapi tetap rasanya tidak dapat membuatku betah. Ah, aku mengeluh. Kalau saja, beasiswa master-ku diterima di Eindhoven, Belanda. Mungkin pagi ini aku terbangun dengan bunga-bunga tulip menyapa di jendelaku. Atau kalau lamaran beasiswa Monbusho-ku diterima pemerintah Jepang, aku sudah berjalan-jalan di tengah-tengah padang bunga sakura.
Tapi, ya sudahlah. Dalam kebingungan dan kekecewaanku, satu-satunya tawaran yang ada adalah untuk membantu mengajar “Rangkaian Listrik” dan “Elektronika” di sekolah pelayaran ini. Dan di sinilah aku sekarang.
Hari-hari pertama agak sulit, aku mesti menyesuaikan diri dengan suasana dan ‘budaya’ sekolah itu yang belum pernah aku alami. Aku menyadari tentu cara dosen-dosenku mengajar dulu, tidak bisa diterapkan di sini. Tapi menarik juga, banyak dari mereka datang dari pelosok-pelosok jauh. Datang dengan cita-cita dan tekad. Banyak dari mereka datang dengan latar belakang kehidupan keras dan tidak mudah. Aku berusaha juga untuk mengenal dan dekat dengan mereka, dalam beberapa minggu ini.
****
Malam itu aku terbangun oleh suara huru-hara. Berisik sekali di komplek asrama ini oleh suara riuh rendah dan teriakan orang-orang. Aku keluar dari kamar pengap-ku, cuma mengenakan sarung dan kaos oblong, mencoba mencari tahu apa yang terjadi.
Kilatan sinar senter berkelebatan di mana-mana.
Aku melihat Jati, salah seorang muridku datang tergopoh-gopoh dengan muka pucat.
“Pak, pak...ada yang mati....”
Sekejap saraf-sarafku terjaga dan aku pulih total dari rasa ngantuk-ku.
“Kenapa? Sopo?”
“Jason...dibunuh, Pak....” Mengucapkan kata itu, suara Jati terdengar gemetar. Dan pemuda yang tinggi kekar hitam itu jadi kelihatan seperti anak kucing ketakutan.
Aku tidak menyahut, tapi buru-buru berlari ke pusat kerumunan.
Tuhan. Aduh! Aduh....!
Aku tidak tahu mesti merasa apa. Di situ aku melihat Jason, salah satu muridku sudah tergeletak, bergelimang dengan darah. Aku belum pernah melihat darah tercecer sebanyak itu.
“Ayo – ayo semua minggir! Ambulan sudah dipanggil, semua minggir!” Aku melihat Pak Lasno, salah satu dosen senior, berteriak-teriak berusaha membubarkan kerumunan.
Aku menepi sesaat. Rasanya tidak percaya, beberap hari pertamaku sudah disambut dengan kejadian seperti ini.
Sekelompok murid-muridku mendekatiku. Tidak jelas lagi siapa mereka, tapi satu-satu berusaha menjelaskan apa yang terjadi.
“Dia dibunuh Lontar, Pak...”
“Awalnya Jason menghina dan mempermainkan dia, Pak....”
Setelah beberapa saat, kurang lebih aku tahu duduk ceritanya. Lontar anak dusun dari kepulauan timur, anak miskin yang sederhana. Tidak jelas bagaimana awal mulanya, yang jelas Jason –anak dari Jakarta dan anak pejabat juga- bertengkar dengan Lontar. Lalu mengancam Lontar dengan pisaunya, mungkin memperolok-oloknya. Dan akhirnya...Jason yang terkapar dengan pisaunya sendiri tertancap di perutnya.
Ya, aku ingat Jason, anak yang suka bicara, dan besar mulut, sementara Lontar aku ingat satu anak pendiam, lusuh dan kelihatan bodoh dan kampungan.
“Mas Henry, ayo mas ikut bantu sini...” Sekonyong-konyong Bu Tuti, salah satu dosen senior memanggilku.
Ternyata Lontar naik ke tingkat atas salah satu bangunan, berdiri di jendela, bersiap-siap hendak meloncat dan mengakhiri hidupnya. Kami bergegas lari, terengah-engah mendaki tangga. Ruangan di mana dia berada terkunci rapat. Ramai kami berusaha menggedor pintunya. Aku melihat wajah-wajah bingung para dosen yang lain. Keriput muka Pak Lasno dan Bu Tuti, seolah mengatakan mereka tidak sanggup mendobrak pintu itu. Mereka menatapku, mungkin karena aku yang paling muda, dan diharapkan untuk melakukannya.
Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Entah mengapa tiba-tiba aku melihat sekelebat bayangan, gambar sebuah laci besar yang kosong. Kosong dan hampa.
“Lontar!” Aku berteriak dan memukul pintu sekuat tenagaku. “Dengarkan..!”
Dan aku pun berkata-kata seperti orang gila....
“Hidupmu seperti kosong dan hampa...tapi belum berakhir....dengarkan baik-baik. Tuhan Yesus sanggup beri kau kekuatan, biarkan Dia masuk di hatimu. Jangan putus asa....Dia kan isi hidupmu lagi...Dia kan penuhi hidupmu......baru lagi....”
Hening.
Aku berusaha tidak memandang wajah para dosen yang lain, yang memandangku dengan kebingungan.
Hening. Menit-menit merangkak seperti berabad-abad.
Tiba-tiba terdengar bunyi gerendel dibuka. Aku melihat wajah Lontar bersimbah air mata. Tubuhnya bersimbah darah. Hanya aku melihat damai di matanya.
Dia berjalan pelan, lalu berlari arahku, berlutut dan memeluk kakiku. Terisak-isak, meleleh air matanya.
******
Jujur saja, malam itu aku sungguh-sungguh berdoa, agar Tuhan memberikan mukjizat untuk membangkitkan Jason. Aku berdoa, berteriak-teriak, sisa malam itu, agar mukjzat itu dikabulkan.
Tapi itu tidak terjadi.
Jason dikebumikan sekitar seminggu setelah itu. Lontar diajukan ke pengadilan. Aku tidak mengikuti lagi, cuma aku mendengar cerita bagaimana dia dipukuli sampai hampir mati oleh oknum-oknum, bagaimana suasana pengadilan cukup mengharukan, bagaimana dia berlutut memohon ampun kepada orang tua Jason.
Hidup membawaku ke belokan lain, ternyata. Aku tiba-tiba mendapat tawaran beasiswa untuk melanjutkan studiku di National University of Singapore. Belasan tahun lewat, dan aku sudah melupakan peristiwa itu. Ketika tiba-tiba aku mendengar kabar, seorang penginjil muda yang perkasa di daerah Soe, di kepulauan timur. Namanya Lontar.
Aku merenung. Secara jasmani, saat dia menerima Tuhan Yesus malam itu, tidak ada mukjizat. Kalau saja Jason tidak jadi mati, tentu hukumannya tidak berat, malah mungkin bisa saja tidak ke pengadilan. Tapi, Jason tetap meninggal, dan Lontar menghabiskan bertahun-tahun di pengadilan dengan segala siksaannya. Tapi saat itu, entah bagaimana Yesus sanggup memberikan dia ‘hidup’, walaupun dari luar kelihatannya seperti tidak ada yang berubah. Dia tetap dihukum. Sama seperti Daud yang merasa lega setelah memohon ampun setelah membunuh Uria, walau toh dia tetap dihukum. Anak pertamanya tetap mati, dan kelak Absalom memberontak.
Aku juga tidak mengerti bagaimana serentetan kalimatku yang kacau balau di depan pintu, malam berdarah itu – bisa dimengerti oleh Lontar.
Yesus, sepertinya penuh misteri. Atau lebih baik aku katakan, aku tidak sanggup menyelami Dia. Buluh yang terkulai tidak Dia patahkan.
*****
2 comments:
bagus ceritanya, kadang kita emang cuman ngerti sepenggal ceritanya keliatannya jelek tapi kalo ntar liat penggalan lain baru tau kalo hasilnya ternyata indah
:)
Kapan kau melontarkan diri dari tempurungmu?
Kapan kau melontarkan "Lontar-Lontar" yg lain?
Gw tunggu tanggal mainnya...
Dan gw akan bersorak sorai saat namamu diumumkan di surga...
Post a Comment