Sunday, June 04, 2006

The Last Stand

Just watched, X-Men 3, The Last Stand. Many people were upset of this sequel, upon the death of many casts, dan karena matinya terasa janggal. Cyclops nongol sebentar dan mati oleh Jean Grey seperti halnya Prof. X. For me, this tragic sequel is the X-Men master piece. Someone told me, that tragic stories are masterpiece ones.

Filosofi X-Men, menurutku, adalah filsafat eksistensialisme. Komik Marvel ini berbeda dengan karakterisasi komik2 lainnya di tahun 80-90an. Di mana plotnya begitu sederhana, jagoan baik ketemu penjahat. Bertempur. Baik menang melawan jahat. That's all. X-Men bukan plot yang datar, tapi merupakan dialektika dari pergumulan identitas, atau lebih tepat eksistensi.

X-Men bagiku adalah refleksi pergumulan social engineering. Mutan adalah simbol dari pergumulan eksistensi manusia. Dalam konteks etnisitas, mutan mungkin merupakan suara kaum minoritas. Misalnya dalam konteks Indonesia, para minoritas Tionghoa adalah para mutan, yang dipinggirkan oleh "manusia" kebanyakan. Mereka ditakdirkan untuk menjadi lain dan dibenci tanpa alasan. Perjuangan SNB (misalnya) untuk menuntut kesamaan hak etnis Tionghoa adalah perjuangan untuk mereka bisa diterima sebagai mutan apa adanya, tanpa harus dipaksa berasimilasi, alias memakan "cure anti-mutant" dari pemerintah. Bukan kebetulan mungkin, dalam salah satu screen shot X-Men, di ruang Presiden Amerika Serikat, sekilas memuat background lukisan "Abraham Lincoln". Kelihatannya sutradara X-Men memang memaksudkan agar X-Men sarat akan simbol-simbol.

Namun sesuai filsafat eksistensialisme, bagi para kaum miskin urban di Jakarta, mereka sendiri adalah mutan. Mereka merasa terpinggirkan dan menyaksikan para kebanyakan etnis Tionghoa yang makmur dan berdagang di bilangan Glodok adalah "manusia" kebanyakan yang menindas mereka. Dan hari di mana mereka boleh menjarah seolah adalah hari di mana para mutan berusaha merebut kebebasannya dan menyatakan eksistensinya.

Ya, segalanya bisa menjadi subyektif dan relatif. Karena filsafat X-Men adalah filsafat PostMo yang berakar dari eksistensialisme. Tidak datar seperti komik2 Superman, Batman dan Spiderman.

Dalam konteks komunitas, para mutan boleh jadi adalah orang2 outcast yang punya pandangan lain dari orang kebanyakan, dan akhirnya dianggap aneh atau mungkin "kualat". Contohnya, saudara angkat saya, "Pendekar Tertawa", yang menulis di blog-nya. Apakah dia adalah seorang Outcast atau Hero? Everyone can choose their stand.

Pada umur 21 tahun seorang pemuda dalam keadaan depresi berat, berseru "I need to know the truth. The truth for me to live for and to die for!". Pemuda ini adalah Soren Kierkegaard, Bapak dari filsafat Eksistensialisme. Dia berpendapat kalau tiap2 manusia itu punya eksistensinya sendiri secara ajaib dan bukan mass product. Bukan produk determinisme naturalisme. Bukan kerumunan yang hanyut dalam anomie (meminjam istilah Emilio Durkheim).

Namun kalau menurut aku, memang manusia adalah mahluk yang dapat memilih untuk menjadi eksistensial, menjadi seseorang yang mengubah dan berpengaruh bagi dunia. Namun juga bisa memilih untuk menjadi manusia kebanyakan yang hidup menurut arus apa adanya. Contoh orang-orang yang berjuang untuk mengubah keadaan dan menentang determinisme, misalnya Martin Luther, yang tidak rela melihat kebanyakan orang dibodohi oleh kekuasaan papacy. Kierkegaard yang tidak rela melihat jemaat dibekukan oleh gereja Lutheran yang dingin. Nietsche yang berpendapat agama itu memperbudak manusia, dan manusia bisa berevolusi menjadi superman. Hitler, yang berpendapat bahwa rasnya (aka para mutan) yang lebih superior dari manusia kebanyakan. Bisa jahat, bisa baik.

Menarik juga adalah pergumulan Jean Grey vs Phoenix. Phoenix adalah kerinduan akan kebebasan yang tertekan. Namun hasrat kebebasan itu menjadikannya jahat. Apakah kebenaran itu mengekang, atau kebenaran itu memerdekakan? X-Men adalah cerita yang realistis, senyum terakhir Prof X, sebelum mati di tangan Phoenix, seperti senyum pasrah ketika menerima kenyataan bahwa "seolah2" kejahatan menang atas kebaikan. Mengapa Jean Grey tidak mampu menaklukkan naluri jahat Phoenix? Misteri ini seperti yang terekam dalam buku Philip Yancey (Amazing Grace), tentang seorang temannya yang tidak mampu mengekang nafsu homoseksualnya walaupun sudah didoakan, ikut KKR, bahkan pake kursi listrik segala. Dan dia hidup menerima aib, cerca dan tekanan dari gereja yang "suci".

Akhirnya tokoh yang paling menderita adalah Wolverine. Dia sebetulnya adalah tokoh netral yang tidak peduli pada dialektika identitas para mutan. Dia hidup apa adanya menurut prinsipnya. Dia yang menasehati Rogue ketika dia hendak meninggalkan sekolah dan bermaksud meninggalkan kemutanannya. "I hope you are not doing it for some boys.." ujarnya.

Wolverine berusaha mengingatkan Rogue bahwa perasaan jatuh cinta itu cuma tipuan. Itu adalah manipulasi dan tipuan hukum alam, agar manusia bisa berkembang biak dan mempertahankan speciesnya. Sayangnya, Wolverine sendiri hanyut dalam cinta terlarangnya terhadap Jean Grey. Terlarang, karena Jean Grey adalah milik Cyclops. Lebih terlarang lagi karena Jean Grey adalah Phoenix dan Phoenix adalah Jean Grey. Tidak ada yang lebih perih dan menderita di dunia ini, ketika kamu harus mendekati orang yang kamu cintai. Dan menyadari bahwa orang yang kamu cintai, di satu sisi adalah Jean Grey tapi di sisi lain juga adalah Phoenix. Dan berkata:

" I don't die for them, I die for you........ I love you.."

..dan kemudian engkau menusukkan tanganmu dengan cakar Adamantium pada orang yang kau cintai. Karena dia adalah Phoenix. Walau dia adalah Jean Grey. Jika engkau mencintai Jean Grey maka engkau juga harus menerima kenyataan seumur hidupmu bahwa dia adalah juga Phoenix. Phoenix yang telah membunuh Cyclops dan Prof X. Dapatkah engkau menerima bahwa Jean Grey yang engkau cintai adalah Phoenix???? Dan engkau harus membuat pilihan...The Last Stand...Dan pilihan yang engkau buat adalah bahwa engkau tidak akan pernah bisa bersama orang yang engkau cintai....

Walau yang mati adalah Jean Grey di pelukan Wolverine, semua penonton tentu tahu bahwa bagi Wolverine, kenyataan itu lebih buruk daripada dia sendiri yang mati. Perasaan saat memeluk Jean Grey yang mati di tanganmu sendiri lebih buruk daripada perasaan mati itu sendiri...

Perasaan itu lebih menderita daripada saat Magneto menyadari bahwa dia kemudian menjadi "one of them"...menjadi manusia, dan segala mimpinya hancur.

Sepanjang hidupnya, Wolverine hidup dalam penderitaan...Hidup seolah mempermainkan dan mengejeknya dengan keji dan sadis, dan bahkan mempertontonkan di hadapannya bahwa cinta itu bukan tipuan bagi orang lain, tapi kenyataan seperti dalam kasus Rogue.

Film ini menyisakan sedikit happy ending ketika Iceman dalam cinta masa mudanya bisa bersama2 dengan Rogue yang memilih menjadi manusia.

Namun bagi Wolverine, cinta adalah tipuan dan ilusi. Dia dikaruniai self-healing untuk tubuhnya, tapi tidak bagi hatinya. Sepanjang hidupnya dia adalah mutan yang paling menderita.

Jika dahulu aku seorang mutan, maka mungkin aku akan berbaris di Alcatraz Lab, agar dapat menjadi manusia biasa, menjadi kerumunan manusia kebanyakan mengikuti arus. Passing my days of life quietly, quickly, painlessly...I think...that's all..

3 comments:

Gold Apprentice said...

Boss....Love is a miracle...Falling in Love also a miracle hehehe :) Nah kan namanya "jatuh cinta"..tetep aja jatuh...jadi ada sakitnya...tp itu justru yang bikin "hidup jadi lebih hidup"

-pendekar tertawa

gtanuel said...

Kasih spoiler alert dulu dong, kasian kan yang belum nonton :) You'd never know how large your audience is.

Btw urat melan ente emang tak tertolong lagi nih hahaha.. gua yang biasanya kalo nonton lumayan konsen mikir dan bisa drifted 1-2km away from the main plot sekarang ini aja gak gitu banyak mikir abis nonton. Hehe.. mungkin ini akibat nontonnya dgn nyonya, beda dengan nonton sendirian di kompie/dvd.

Ada sih mikir dikit, tapi itu juga ter-trigger oleh tulisan lain (lupa di majalah atau di mana). "Cure" for gays? What "disease"? God hates what? As cliche as it is: coba masih Singer yang sutradarain, bakal lebih thought provoking (utk kita, the "mainstreamers"?).

Back to your writing, as usual: enjoyable analysis well done :) But I thought we ARE the mutants? *wink*

phoenix chix said...

ckckck bro.. cant believe the way you analyze the movie haha.. salut deh..
actually... they could have dived deeper into the conflicts instead of letting it happen so quickly and plainly.. then the audience would have gotten the idea more easily dan ga perlu mikir sedalem ini utk unearth the whole meaning of the movie hehe..

aku ga pernah nyadar it got such a deep meaning.. too bad i guess it was lost in translation for most people yg ntn deh..