Monday, October 19, 2009
Melukis Kasih Karunia
Saya berhenti melukis waktu kelas 2 SMA kalau tidak salah. Yang saya ingat, guru seni rupa saya mengacung-acungkan lukisan saya di depan kelas dan mengejek-ejeknya serta mempermalukan saya di depan murid-murid.
Sejak itu saya selalu berpikir kalau saya tidak bisa melukis. Saya tidak punya bakat.
Dan waktu pun berlalu.
Sebulan yang lalu saya iseng menemukan kursus melukis di sebuah website. Benar-benar kebetulan, karena saya menemukan link-nya di Google Ads Word di dalam Gmail. Lebih kebetulan lagi, tidak lama setelah itu saya ketemu makan siang dengan kawan saya, seorang Professor di Singapore Management University, setelah lama sekali tak bersua. Ngobrol-ngobrol kanan kiri atas bawah, saya tiba-tiba iseng menyebutkan soal kursus melukis. Singkat cerita dia juga tertarik, dan jadilah kita berdua mendaftar untuk ikut kelas permulaan. It’s acrylic on canvas. Kalau tidak ada temannya, mungkin saya tidak berani mendaftar.
Nah, tulisan ini bukan artikel tentang teknik melukis, ya. Saya cuma tertarik dan terperanjat ketika instruktur kami (seorang seniman impressionist) mengatakan, “Melukis itu tergantung dari bagaimana kamu melihat dan bukan dari keahlian tangan…yang penting itu harus melihat dengan benar, karena kalau kamu melihat dengan benar, niscaya tangan akan mengikuti…”
Saya jadi melihat analoginya dalam hidup. Kalau kita melihat dengan benar, maka tangan kita akan melukis dengan baik pula. Kalau apa yang kita percayai benar, maka hidup kita akan benar pula. If we’re believing right, then we will live right.
Kalau saja kita tahu, melihat dan mengecap betapa dahsyat dan tak berkesudahan dan tanpa pamrih, kasih karunia Tuhan, hidup kita akan diliputi dengan kekuatan ajaib untuk hidup benar. Mana yang akan membuat kita hidup benar? Apakah aturan-aturan agamawi dan hukum-hukum serta ketakutan akan api neraka? Ataukah kelimpahan kasih karunia, pengampunan tak berkesudahan, kebaikan tanpa pamrih yang akan mendorong kita hidup benar?
Penghakiman dan hukum penuh dengan tuduhan dan daftar kesalahan. Seperti guru seni rupa saya di atas, ketika dia mengacung-acungkan “keburukan” lukisan saya. Demikian juga, dalam hidup, selalu ada oknum yang tak hentinya menuduh kita, mendakwa kita, mencap kita “tidak layak” dan mengacung-acungkannya di depan pikiran kita.
Tapi, lihatlah.
Therefore, there is now no condemnation for those who are in Christ Jesus, kata surat Roma 8:1. Ngga ada lagi penghukuman, kita udah bebas. Kita hidup dalam kasih karunia. Kita hidup karena kita melihat dan mengalami dan hidup di dalam Roh dan berbuah. Ngga ada hukum yang bisa menentang itu, kata Galatia 5: 23.
Kalau kamu melihat dengan benar, tanganmu akan mengikuti…..
Kalau kita dapat melihat dan merasakan dan mengalami betapa besar kasih karunia Allah, maka kaki dan tangan kita akan mengikuti….
*****
Singapura, Oktober 2009
Dedicated to my dearest wife, RP.
Thanks too to GT (SMU) & CK (myartspace).
Monday, September 21, 2009
God, Prosperity and Reality
- If you teach that God wants the best property for us, i.e finding house for us. Mind you, the preacher spesifically said, the best in town for us. This lead to a mathematical problem, because the best is only one, and there are more than one Christian in town
- Mathematically, you can't have all members to be rich persons. And economically, some professions can't compete with others. For example, being a teacher or a maid, would make it incomparable to compete with a Wall Street analyst or bankers. So, how would a member who coincidentally is a taxi driver feel about the teaching?
- Case studies in pulpit are always about the 'absolute' rich people. The preacher would proudly announce how he knows this and that rich Indonesian businessmen, of the replica house like White house, etc. I understand marketing and packaging. The moment you share a story about a maid. that she feels so financially blessed, because today she could earn additional $10, would just really piss off most the attendees.
- Biblically, they love to quote all examples of rich people and forgetting the case that Jesus himself, Paul, etc were not typical Warren Buffet of the day.
- Just take a quick surveys..most of the richest in town or country, they are not Christian. Forbes would agree with me.
Sunday, September 13, 2009
always be nice
always be nice to everyone.
you never know, who will stretch their hands to reach you when the titanic starts to sink. one touched my hand and told me 'relax, God is watching us' despite i had numerous fights with the person. the other one said 'don't let them look down on you, you have to know that you are good..' despite i ever had hours on the phone quarelling. one just came into my room said nothing..but 'how are you' with the face expressing deep sympathy. one sent sms-es from outside, despite we were not that close when we were on the same ship, 'things happen for a reason, keep faith in god'. the funny thing, i don't even know what religion those people are who mentioned god, yet it was just so nice.
use brain and be rationale all the time (this one i got it from my seefoo).
the persons that i have tried to be over-nice, were the ones that then put the darts on my back. the fact that i was hurt, because perhaps i was not sincere then, i was nice to them to get their support during my reign time. lesson, don't need to overdo it...
so, in future, just be nice to everyone in sincerity.
Saturday, August 29, 2009
There's a reason
Oh lamb of God I am standing in the light
Pray all the world will see
May all I do glorify your name
That's the reason you made me...
There's a reason for everything
Some we may know, most we don't know
Some we don't need to know, some we really need to know
..to hold and uphold it...
Tuesday, August 25, 2009
...he also needs to....
"...he is only a man, and like you and me...he also needs to shit and goes to the toilet...."
aha...so wise my godfather is :)
Wednesday, July 29, 2009
Thursday, July 23, 2009
Thursday, May 28, 2009
waktu
Monday, May 25, 2009
Everybody is normal
Duka Ketidakpastian
Saya baru saja membaca sebuah artikel yang ditulis Daniel Gilbert, seorang Profesor Psikologi dari Harvard University, judulnya “The unbearable angst of uncertainty”. Di situ dia menulis tentang sebuah eksperimen yang dilakukan peneliti dari Maastricht University di Belanda yang melakukan penelitian pada sekelompok orang dengan memberikan 20 kejutan listrik. Kepada satu kelompok, para peneliti memberitahukan bahwa akan ada 17 kejutan ringan dan 3 kejutan berat, sedangkan kelompok yang lain hanya tahu bahwa mereka akan menerima semua kejutan berat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok yang justru tahu bahwa mereka cuma menerima 3 kejutan berat, ternyata lebih takut dan kuatir. Jantung mereka berdetak cepat dan mereka berkeringat dingin.
Ini karena orang cenderung lebih stress kala mereka mengetahui kalau sesuatu yang buruk mungkin terjadi, daripada mengetahui sesuatu yang buruk akan terjadi. Kebanyakan orang ternyata, kalau mereka tahu sesuatu yang buruk akan terjadi, walau pada awalnya mereka akan terpukul, setelah beberapa saat mereka akan mulai menerima kenyataan dan bersiap untuk memperoleh yang terbaik dari keadaan yang terburuk.
Ketidakpastian itu adalah beban yang menusuk. Saya jadi ingat satu cerita lagi. Tentang seorang kriminal di Amerika yang divonis hukuman mati. Setelah mencoba pelbagai usaha untuk naik banding, vonisnya tidak berubah. Akan tetapi pada hari H-nya, hukumannya ditunda. Penundaan ini bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali. Entah mengapa, mungkin karena ada kesalahan administrasi. Akhirnya pada hari yang dinanti-nantikan, setelah dengan pasrah, si pesakitan siap menerima nasib...eh....ternyata dibatalkan lagi! Akhirnya saking kesalnya dia malah balik menuntut pemerintah AS, karena dianggap lalai dan menunda-nunda hukuman matinya.
Salah satu duri ketidakpastian adalah karena kita tidak tahu apa yang mesti kita lakukan. Saya ingat, ketika saya memulai bisnis saya. Ternyata tidak berhasil baik. Saya sempat stress. Bukan semata karena usaha saya yang tidak berhasil, tapi karena saya tergantung dalam dilema, dan terjebak dalam lubang kebingungan. Mestikah saya terus bertahan dan menghabiskan uang tabungan saya? Mestikah saya berhenti saja dan kembali jadi karyawan? Kedua-dua langkah mengandung resiko. Jadi berbulan-bulan saya stress karena ketidakpastian, tidak pasti saya akan ke mana, atau apa yang akan terjadi pada saya.
Ketidakpastian, tentu adalah tema sehar-hari sekarang. Dengan krisis ekonomi global ini, tidak jelas apa yang akan terjadi pada pasar saham besok. Mendengar berita PHK di negara-negara paling makmur sekalipun, tidak pasti berapa lama kita bisa duduk di bangku kantor. Mendengar berita flu ini-flu itu, tidak jelas kapan epideminya akan meledak, atau entah virus baru apa lagi besok datang.
Ketidakpastian sekarang bukan hanya melanda orang miskin, tetapi juga orang kaya. Bukan hanya orang tidak berpendidikan, tetapi juga orang-orang pintar. Orang lemah atau berkuasa.
Yesus mengerti. Dunia tidak dapat menyelesaikan persoalan ketidakpastian ini. Selama kita menaruh harap dan rasa aman kita pada sistem dunia, kita tidak akan pernah merasa damai. Itulah sebabnya Dia bersabda, “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu.”
Mungkin tidak ada jawaban instan akan masalah ketidakpastian kita, begitu kita selesai mengucapkan ‘Amin’ dalam doa kita. Namun satu hal pasti, Tuhan bilang, Dia akan berikan kita damai sejahtera yang bukan dari dunia ini. Yang tidak dimengerti dunia ini. Yang ‘kan berikan kekuatan kepada kita untuk terus melangkah.
Kembali pada kisah di atas tentang pengalaman saya. Ya, Tuhan menolong saya. Dan bulan-bulan yang saya habiskan dalam kekuatiran dan stress, sebetulnya sia-sia saja.
Saturday, May 09, 2009
Kampung Kenangan Mei
Sunday, March 08, 2009
Buluh Yang Terkulai
Sudah beberapa minggu ini aku tinggal di komplek asrama sekolah pelayaran ini. Selepas wisuda sebagai lulusan terbaik dari Universitas di kota ini juga, aku tidak menduga, kalau aku harus memperpanjang masa tinggalku di kota ini. Kota yang gersang, panas. Lain dengan kampung halamanku yang dingin dan sejuk. Kota yang sudah kudiami selama empat tahun terakhir sampai lulus kuliah, tapi tetap rasanya tidak dapat membuatku betah. Ah, aku mengeluh. Kalau saja, beasiswa master-ku diterima di Eindhoven, Belanda. Mungkin pagi ini aku terbangun dengan bunga-bunga tulip menyapa di jendelaku. Atau kalau lamaran beasiswa Monbusho-ku diterima pemerintah Jepang, aku sudah berjalan-jalan di tengah-tengah padang bunga sakura.
Tapi, ya sudahlah. Dalam kebingungan dan kekecewaanku, satu-satunya tawaran yang ada adalah untuk membantu mengajar “Rangkaian Listrik” dan “Elektronika” di sekolah pelayaran ini. Dan di sinilah aku sekarang.
Hari-hari pertama agak sulit, aku mesti menyesuaikan diri dengan suasana dan ‘budaya’ sekolah itu yang belum pernah aku alami. Aku menyadari tentu cara dosen-dosenku mengajar dulu, tidak bisa diterapkan di sini. Tapi menarik juga, banyak dari mereka datang dari pelosok-pelosok jauh. Datang dengan cita-cita dan tekad. Banyak dari mereka datang dengan latar belakang kehidupan keras dan tidak mudah. Aku berusaha juga untuk mengenal dan dekat dengan mereka, dalam beberapa minggu ini.
****
Malam itu aku terbangun oleh suara huru-hara. Berisik sekali di komplek asrama ini oleh suara riuh rendah dan teriakan orang-orang. Aku keluar dari kamar pengap-ku, cuma mengenakan sarung dan kaos oblong, mencoba mencari tahu apa yang terjadi.
Kilatan sinar senter berkelebatan di mana-mana.
Aku melihat Jati, salah seorang muridku datang tergopoh-gopoh dengan muka pucat.
“Pak, pak...ada yang mati....”
Sekejap saraf-sarafku terjaga dan aku pulih total dari rasa ngantuk-ku.
“Kenapa? Sopo?”
“Jason...dibunuh, Pak....” Mengucapkan kata itu, suara Jati terdengar gemetar. Dan pemuda yang tinggi kekar hitam itu jadi kelihatan seperti anak kucing ketakutan.
Aku tidak menyahut, tapi buru-buru berlari ke pusat kerumunan.
Tuhan. Aduh! Aduh....!
Aku tidak tahu mesti merasa apa. Di situ aku melihat Jason, salah satu muridku sudah tergeletak, bergelimang dengan darah. Aku belum pernah melihat darah tercecer sebanyak itu.
“Ayo – ayo semua minggir! Ambulan sudah dipanggil, semua minggir!” Aku melihat Pak Lasno, salah satu dosen senior, berteriak-teriak berusaha membubarkan kerumunan.
Aku menepi sesaat. Rasanya tidak percaya, beberap hari pertamaku sudah disambut dengan kejadian seperti ini.
Sekelompok murid-muridku mendekatiku. Tidak jelas lagi siapa mereka, tapi satu-satu berusaha menjelaskan apa yang terjadi.
“Dia dibunuh Lontar, Pak...”
“Awalnya Jason menghina dan mempermainkan dia, Pak....”
Setelah beberapa saat, kurang lebih aku tahu duduk ceritanya. Lontar anak dusun dari kepulauan timur, anak miskin yang sederhana. Tidak jelas bagaimana awal mulanya, yang jelas Jason –anak dari Jakarta dan anak pejabat juga- bertengkar dengan Lontar. Lalu mengancam Lontar dengan pisaunya, mungkin memperolok-oloknya. Dan akhirnya...Jason yang terkapar dengan pisaunya sendiri tertancap di perutnya.
Ya, aku ingat Jason, anak yang suka bicara, dan besar mulut, sementara Lontar aku ingat satu anak pendiam, lusuh dan kelihatan bodoh dan kampungan.
“Mas Henry, ayo mas ikut bantu sini...” Sekonyong-konyong Bu Tuti, salah satu dosen senior memanggilku.
Ternyata Lontar naik ke tingkat atas salah satu bangunan, berdiri di jendela, bersiap-siap hendak meloncat dan mengakhiri hidupnya. Kami bergegas lari, terengah-engah mendaki tangga. Ruangan di mana dia berada terkunci rapat. Ramai kami berusaha menggedor pintunya. Aku melihat wajah-wajah bingung para dosen yang lain. Keriput muka Pak Lasno dan Bu Tuti, seolah mengatakan mereka tidak sanggup mendobrak pintu itu. Mereka menatapku, mungkin karena aku yang paling muda, dan diharapkan untuk melakukannya.
Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Entah mengapa tiba-tiba aku melihat sekelebat bayangan, gambar sebuah laci besar yang kosong. Kosong dan hampa.
“Lontar!” Aku berteriak dan memukul pintu sekuat tenagaku. “Dengarkan..!”
Dan aku pun berkata-kata seperti orang gila....
“Hidupmu seperti kosong dan hampa...tapi belum berakhir....dengarkan baik-baik. Tuhan Yesus sanggup beri kau kekuatan, biarkan Dia masuk di hatimu. Jangan putus asa....Dia kan isi hidupmu lagi...Dia kan penuhi hidupmu......baru lagi....”
Hening.
Aku berusaha tidak memandang wajah para dosen yang lain, yang memandangku dengan kebingungan.
Hening. Menit-menit merangkak seperti berabad-abad.
Tiba-tiba terdengar bunyi gerendel dibuka. Aku melihat wajah Lontar bersimbah air mata. Tubuhnya bersimbah darah. Hanya aku melihat damai di matanya.
Dia berjalan pelan, lalu berlari arahku, berlutut dan memeluk kakiku. Terisak-isak, meleleh air matanya.
******
Jujur saja, malam itu aku sungguh-sungguh berdoa, agar Tuhan memberikan mukjizat untuk membangkitkan Jason. Aku berdoa, berteriak-teriak, sisa malam itu, agar mukjzat itu dikabulkan.
Tapi itu tidak terjadi.
Jason dikebumikan sekitar seminggu setelah itu. Lontar diajukan ke pengadilan. Aku tidak mengikuti lagi, cuma aku mendengar cerita bagaimana dia dipukuli sampai hampir mati oleh oknum-oknum, bagaimana suasana pengadilan cukup mengharukan, bagaimana dia berlutut memohon ampun kepada orang tua Jason.
Hidup membawaku ke belokan lain, ternyata. Aku tiba-tiba mendapat tawaran beasiswa untuk melanjutkan studiku di National University of Singapore. Belasan tahun lewat, dan aku sudah melupakan peristiwa itu. Ketika tiba-tiba aku mendengar kabar, seorang penginjil muda yang perkasa di daerah Soe, di kepulauan timur. Namanya Lontar.
Aku merenung. Secara jasmani, saat dia menerima Tuhan Yesus malam itu, tidak ada mukjizat. Kalau saja Jason tidak jadi mati, tentu hukumannya tidak berat, malah mungkin bisa saja tidak ke pengadilan. Tapi, Jason tetap meninggal, dan Lontar menghabiskan bertahun-tahun di pengadilan dengan segala siksaannya. Tapi saat itu, entah bagaimana Yesus sanggup memberikan dia ‘hidup’, walaupun dari luar kelihatannya seperti tidak ada yang berubah. Dia tetap dihukum. Sama seperti Daud yang merasa lega setelah memohon ampun setelah membunuh Uria, walau toh dia tetap dihukum. Anak pertamanya tetap mati, dan kelak Absalom memberontak.
Aku juga tidak mengerti bagaimana serentetan kalimatku yang kacau balau di depan pintu, malam berdarah itu – bisa dimengerti oleh Lontar.
Yesus, sepertinya penuh misteri. Atau lebih baik aku katakan, aku tidak sanggup menyelami Dia. Buluh yang terkulai tidak Dia patahkan.
*****
Wednesday, January 28, 2009
life to the fullest
I have now looked through the window at the height of corporate ladder.
A seat, I know, I am always ready to lose anytime, within 24 hours.
A place, I know, will never make me secure.
Somehow, I remember people I have met in the past.
I still sense their passion over what they are doing
It seems they live a hakunamatata kinda life
They live their dream
They did not go into main stream like the crowd. Taking 'profitable' degree, such as business, engineering, and making career and money, as the focus of their energy. No.
Some devote their life for social and political studies. Some become professor. Some devote their life for humanity and human rights cause. Some become (probably) the next ruler's advisor.
I feel they all live a meaningful life. Life to the fullest. They are doing what they love, free from what the crowds chase. They choose life over money and social status.
Monday, August 11, 2008
It must be a dream
This may be a long shot of 17 years struggle
Still no place for me to sit in for the exam
The toil given to men
To find out what they need to do significantly
Is just too much
It must be a dream and I have to let it go
Wednesday, July 23, 2008
It must be a dream...(17 years passed..)
We're so glad that you were earlier able to attend a XXX admissions seminar. We hope what was shared with you at the seminar has been helpful to you, and that you have had a chance to explore our website for more information.
If you have decided to apply or are keen on applying in the near future, please do email us and let us know. We would be pleased to provide assistance with your questions about applications and admissions.
If, on the other hand, you are hesitant to apply or have decided that the XXX MD program is not for you, would you perhaps let us know why as well? We would very much like to understand the concerns of prospective students like yourself, so we would really like your feedback and comments.We look forward to hearing from you soon.
Best wishes,
Admissions Department
Sunday, September 02, 2007
Kidung Cinta Sulaiman
dalam peluk kukuh lenganmu
karena cinta kuat seperti maut
hasratnya tak teredam alam kubur
Cinta membakar bagai hangus api
laksana nyala yang membara
Tiada air dapat memadamkan
tiada sungai dapat menyapunya
Tak dapat dia dibeli, tak dapat dia dijual
namun karena cinta kita rela menyerahkan
...
...
...
segalanya
(Kidung Agung Sulaiman 8: 6-7; HSL 'tuk RP)
Friday, February 16, 2007
Anywhere is - Enya
But everywhere I turn to
Begins a new beginning
But never finds a finish
I walk to the horizon
And there I find another
It all seems so surprising
And then I find that I know
Chorus:
You go there youre gone forever
I go there Ill lose my way
If we stay here were not together
Anywhere is
The moon upon the ocean
Is swept around in motion
But without ever knowing
The reason for its flowing
In motion on the ocean
The moon still keeps on moving
The waves still keep on waving
And I still keep on going
Chorus
I wonder if the stars sign
The life that is to be mine
And would they let their light shine
Enough for me to follow
I look up to the heavens
But night has clouded over
No spark of constellation
No vela no orion
The shells upon the warm sands
Have taken from their own lands
The echo of their story
But all I hear are low sounds
As pillow words are weaving
And willow waves are leaving
But should I be believing
That I am only dreaming
Chorus
To leave the thread of all time
And let it make a dark line
In hopes that I can still find
The way back to the moment
I took the turn and turned to
Begin a new beginning
Still looking for the answer
I cannot find the finish
Its either this or that way
Its one way or the other
It should be one direction
It could be on reflection
The turn I have just taken
The turn that I was making
I might be just beginning
I might be near the end.
Thursday, December 21, 2006
3 mimpi aneh di hainan
yang pertama aku melihat seorang tentara yang sangat kelelahan dan keadaannya mengenaskan. dia dipapah untuk masuk tenda atau sebuah barak. baru masuk sebentar, tiba2 ia ditarik lagi keluar/diseret oleh tentara yang lain dan disuruh untuk pergi lagi ke medan perang. sungguh kasihan!
yang kedua, aku melihat seseorang dengan tenang sedang mengatur parade pertunjukan, dan yang berbaris adalah kupu2. Ya, kupu2. Berbaris dengan teratur dan melakukan manuver2 seperti yang diatur oleh orang itu. sungguh ajaib!
yang ketiga, aku melihat seorang malaikat, angel. A celestial being. Dalam wujud yang eksotik dan indah. Dia turun dari sorga dan meletakkan tangannya di dada/hatiku. Lalu aku merasakan suatu perasaan kasih sayang dan damai yang sangat dalam. sungguh sangat indah!
aku terbangun dan merenung, apa arti ketiga mimpi itu. mungkinkah: rest, patience and love?
Tuesday, December 19, 2006
satu hidup satu hari
subuh saat fajar merekah, seperti seorang bayi merekah dalam kehidupan baru
di tangannya lembar putih masih kosong
di tangannya satu hari masih tersedia
pagi-pagi, kita bersiap2, mandi, makan pagi...
umur muda, kita bermain, bersekolah, ah..senangnya
pukul 10 atau 11, mentari bersinar riang, langit biru
harapan masih panjang
boleh bersuka dalam keceriaan masa muda
mencoba ini itu
naik gunung, naik sepeda, berkelana di bawah laut
jatuh pun tak apa
hari masih panjang utk menyembuhkan lukamu
Jam 12, jam makan siang.
Orang mulai bergegas makan siang
bersiap untuk menghabiskan paruh kehidupan berikutnya
--ah sudahlah---
Dan aku membuka seluruh dompetku dan simpananku
untuk membeli bakpao basah itu
Aku menyelamatkan si gadis kecil
dan aku akan jaga dia sampai hari senja
Aku tidak lagi berpikir untuk mencari uang
supaya bisa minum kopi $6 di starbuck jam 3-4 sore nanti
Aku cuma ingin hidup tenang sampai mentari senja menjemputku
Tuanku membeli hidupku sebelum aku lahir
Dan asalkan aku tahu, sampai malam nanti, aku berjalan bersama Tuanku
Karena setelah malam lewat, aku akan berjumpa Tuanku
Tuesday, October 24, 2006
sometimes, somewhere
aku cerita ttg seorang senior di gerejaku yg hidupnya SEMPURNA. dia lahir dari ayah dan ibu pendeta. ayahnya adalah seorang dokter juga. hidupnya berkecukupan secara materi. dia sekolah di australi dan lulus dengan baik. di sana dia menemukan seorang gadis manis lembut baik, dan mereka menikah dan pindah ke singapur. dia tidak pernah bergumul cari kerja, dipecat dlsbnya. karirnya mulus di sana dan dia begitu menikmati pekerjaannya. dia punya tiga anak yang lucu2 dan sempurna. satu kakaknya di melbourne menjadi pendeta dan dosen. satu lagi menjadi dosen di semarang. dia sendiri menjadi pendeta english service. dia begitu sempurna dan terhormat.
kalau saja tuhan kasih hidupku sepuluh persen dari dia. aku sudah puas. sungguh.
aku tahu bahwa tulisan2ku ttg pergumulan dan kepedihan tidak akan pernah dimaksudkan utk golongan org2 seperti itu. memang ada orang2 yg tuhan pilih masuk golongan itu.
sorenya kami ke panen kota. ketemu yoseph yg jadi editor newsletter. ngomong sana sini aku cerita aku bikin beberapa tulisan dari khotbahnya ps kong. eh setelah dia lihat tulisan2ku yg lain dia menghargai. aku kaget juga. tak disangka tulisanku diterima di kalangan panen kota...