Monday, October 19, 2009

Melukis Kasih Karunia

Saya belajar melukis. Ya, ngga tahu apakah terlalu telat untuk orang seusia saya? Waktu kecil saya suka menggambar dan mencorat-coret. Entah berapa kali saya dimarahi papa karena menggambari dinding rumah, dan karena lama tidak dicat ulang, corat-coret itu terdampar di sana untuk waktu yang cukup lama. Waktu tambah besar, saya mengerti kalau menggambar itu harus di atas kertas, dan mama saya suka memuji kalau gambar saya bagus.

Saya berhenti melukis waktu kelas 2 SMA kalau tidak salah. Yang saya ingat, guru seni rupa saya mengacung-acungkan lukisan saya di depan kelas dan mengejek-ejeknya serta mempermalukan saya di depan murid-murid.

Sejak itu saya selalu berpikir kalau saya tidak bisa melukis. Saya tidak punya bakat.

Dan waktu pun berlalu.

Sebulan yang lalu saya iseng menemukan kursus melukis di sebuah website. Benar-benar kebetulan, karena saya menemukan link-nya di Google Ads Word di dalam Gmail. Lebih kebetulan lagi, tidak lama setelah itu saya ketemu makan siang dengan kawan saya, seorang Professor di Singapore Management University, setelah lama sekali tak bersua. Ngobrol-ngobrol kanan kiri atas bawah, saya tiba-tiba iseng menyebutkan soal kursus melukis. Singkat cerita dia juga tertarik, dan jadilah kita berdua mendaftar untuk ikut kelas permulaan. It’s acrylic on canvas. Kalau tidak ada temannya, mungkin saya tidak berani mendaftar.

Nah, tulisan ini bukan artikel tentang teknik melukis, ya. Saya cuma tertarik dan terperanjat ketika instruktur kami (seorang seniman impressionist) mengatakan, “Melukis itu tergantung dari bagaimana kamu melihat dan bukan dari keahlian tangan…yang penting itu harus melihat dengan benar, karena kalau kamu melihat dengan benar, niscaya tangan akan mengikuti…”

Saya jadi melihat analoginya dalam hidup. Kalau kita melihat dengan benar, maka tangan kita akan melukis dengan baik pula. Kalau apa yang kita percayai benar, maka hidup kita akan benar pula. If we’re believing right, then we will live right.

Kalau saja kita tahu, melihat dan mengecap betapa dahsyat dan tak berkesudahan dan tanpa pamrih, kasih karunia Tuhan, hidup kita akan diliputi dengan kekuatan ajaib untuk hidup benar. Mana yang akan membuat kita hidup benar? Apakah aturan-aturan agamawi dan hukum-hukum serta ketakutan akan api neraka? Ataukah kelimpahan kasih karunia, pengampunan tak berkesudahan, kebaikan tanpa pamrih yang akan mendorong kita hidup benar?

Penghakiman dan hukum penuh dengan tuduhan dan daftar kesalahan. Seperti guru seni rupa saya di atas, ketika dia mengacung-acungkan “keburukan” lukisan saya. Demikian juga, dalam hidup, selalu ada oknum yang tak hentinya menuduh kita, mendakwa kita, mencap kita “tidak layak” dan mengacung-acungkannya di depan pikiran kita.
Tapi, lihatlah.

Therefore, there is now no condemnation for those who are in Christ Jesus, kata surat Roma 8:1. Ngga ada lagi penghukuman, kita udah bebas. Kita hidup dalam kasih karunia. Kita hidup karena kita melihat dan mengalami dan hidup di dalam Roh dan berbuah. Ngga ada hukum yang bisa menentang itu, kata Galatia 5: 23.

Kalau kamu melihat dengan benar, tanganmu akan mengikuti…..

Kalau kita dapat melihat dan merasakan dan mengalami betapa besar kasih karunia Allah, maka kaki dan tangan kita akan mengikuti….

*****
Singapura, Oktober 2009
Dedicated to my dearest wife, RP.
Thanks too to GT (SMU) & CK (myartspace).